Selasa, 11 Oktober 2011

Inilah Cinta Inilah pengorbanan dan inilah teruntuk mu


Jalan Terbaik

Seandainya bila, ku bisa memilih…
Berada di tempat tertinngi. Menjuntaikan kaki ke bawah. Penat. Malam ini tak seindah biasanya. Pekat langit menutupi, bulan dan bintang enggan nampak. Angin malam semilir berhembus, meniup kedamaian tapi hatiku galau. Entah hati ini tak bisa diajak bernegosiasi menikmati malam ini. Aku tahu, ini pilihan sulit. Pilihan yang tak bisa ku tentukan. Aku tahu semua terbaik untukku. Semua banyak mengukir kenangan, suka duka, canda tawa, membuatku ingat betul setiap jengkal wajahnya. Tapi aku tak bisa. Semakin waktu bergulir cepat. Semakin aku bingung, mana yang ku pilih. Aku ragu.
 “Mamah tahu semua ga mudah. Tapi Mamah mohon, dia sakit keras. Umurnya divonis dokter ga lama lagi. Mamahnya lihat foto kamu sama dia masih terpajang dikamarnya. Ternyata selama ini dia memendam perasaan itu. Mamah mohon, bantu dia di sisa umurnya” mamah kali ini terisak. Semakin tak tega aku.
“ Tapi mah, Mamah tahu aku udah punya pilihan. Mamah ga bisa begitu aja hancurin impian aku” tolakku.
Mamah berlalu dengan air matanya. Membuatku semakin berat dengan keputusan ini.
***
Bruggg…..
“Maaaaaaaaaf…. “
Keranjang belanjaan itu tumpah berantakan. Isinya berjatuhan. Sayur mayur, bumbu-bumbu bahkan alat kecantikan. Semuanya benar-benar berantakan. Bersigap membereskan dengan cepat. Takut yang punya marah, tak ingin menatap, hanya tertunduk. Ku tatapi dari bawah, ternyata orang ini memakai rok, tentu perempuan. Berfikir yang tidak-tidak, aku membayngkan wajah perempuan ini dengan mata melototnya, wajah yang seram yang akan memarahiku. Menelan ludah membayangkan apa yang terjadi. Ku  beranikan diri mengangkat wajahku. Dugaanku salah, perempuan ini cantik. Berambut panjang hitam terurai, memakai kaos berwarna pink. Matanya sipit kecoklatan, wajahnya putih bersih, namun ku lihat bibir mungilnya sedikit pucat. Terpesona aku melihatnya, tak sedikitpun wajah marah menghias, hanya tersenyum ringan menggelengkan kepala menatap tingkah konyolku yang terburu-buru mengambil kaleng makanan. Mungkin saja memaklumi tingkahku.
“maaff mbaaa… gggaa sengaja”
“Oh, no probl.. maksudku ga papa”
Ku dengar dari logatnya, sepertinya dia sudah lama tak tinggal di sini, mungkin diluar. Bahasa nya saja kacau. Tak memikirkan siapa dia sebenarnya, setelah membereskan belanjaan itu, aku bergegas minta maaf dan pamit. Belanjaan mamah harus cepat sampai. Lebih seram membayangkan wajah mamah kalau belanjaan ini telat sampai. Tertawa kecil lantas berlari meninggalkan supermarket.
***
“Ga, mah. Aku ga mau!” bentakku
Mamah terus saja menceramahiku diruang tamu. Aku duduk di sofa, menutup telinga, tetap saja suara mamah masih terngiang di telinga. Mamah tetap memaksa keinginannya, tapi aku tak bisa. Apa mamah tak mengerti sedikit saja perasaanku. Memuji semua keinginannya, dan meremehkan pilihanku. Aku capek! Berlari menuju kamarku yang tepat di sebelah ruang tamu. Ku pasang musik keras-keras. Suara mamah masih terdengar, bisa mengalahkan musik rock yang kupasang. Menghempaskan diri ke kasur, menutup kepalaku dengan bantal. Lelah, sudah tiga hari ini mamah memaksa keinginannya itu, entahlah.
“Pokoknya mamah ga mau tahu, sore ini dia datang  sama mamahnya. Kamu harus dirumah. Kalo ga, mamah bakal blokir semua akses mu, ngerti!” teriak mamah menakhiri perdebatan sengit siang ini. Aku tak mengerti keinginan mamah. Aku capek! Mamah tahu aku sudah mantap dengan keputusan ku, mamah tahu itu sejak dulu. Tapi, sekarang?
***
Sore ini, dengan berat hati ku turuti keinginan mamah. Bersiap di ruang tamu. Duduk malas, tapi jariku tak berhenti bergerak cepat, ber-sms. Suara klakson mobil tepat di depan rumah. Terdengar suara pintu mobil terbuka. Langkah kaki dengan sepatu hak tinggi terdengar jelas. Semakin mendekati pintu. Mamah menghampiri.
“Bu Ria, apa kabar? Udah lama ga ketemu ya. Wah, pasti ini Randi? Udah gede ya sekarang, tante sampe kaget” ujar seorang ibu dengan penampilan modisnya. Tampak awet muda.
Mamah bercakap-cakap dengan tante ini. Sepertinya aku ingat, ternyata tante Maya tetangga ku selama di Jogja dulu. Rumah kami bersebelahan. Kami sudah seperti keluarga, saling berbagi. Namun, tante Maya memutuskan pindah ke Singapura karna tugas suaminya yang seorang pebisnis ulung. Belum berhenti memutar ulang, ada suara langkah kaki lagi. Siapa?
“Kaaaammmuu….”
 “ Kamu ketemu Mita dimana Ran? Kok ga bilang mamah sih”
Aku tak menjawab. Mulutku terkunci. Perasaan bercampur aduk. Berdecak kagum, aneh, tak percaya, semua jadi satu. Mataku tak berkedip, melotot tak percaya. Perempuan yang kini berdiri didepan pintu itu seperti perempuan yang kutabrak di supermarket. Kali ini tetap dengan rambut panjangnya yang terurai, tetap memakai rok tapi dengan corak yang berbeda. Wajahnya lebih cantik dengan make up yang tipis, tersenyum kecil. Masih tak percaya apa yang saat ini kulihat, ku kucek mataku, tetap tak berubah. Mamah hanya tersenyum.
Obrolan sore ini berbuntut panjang. Salin tertawa mengingat masa lalu. Aku hanya terdiam, entahlah. Enggan larut dalam suasana. Obrolan ini yang mampu membangun ingatanku tetntang sosok perempuan yang ada dihadapanku. Mita, sosok yang ku kenal sejak masih kecil. Banyak perubahan dalam dirinya. Sosok tomboi yang suka bermain dengan laki-laki kini menjadi perempuan anggun, berambut indah. Cantik. Aku dan Mita hanya sesekali memandang, kami saling terdiam. Mungkin dia juga sedang memikirkan apa yang ku fikirkan, masa kecil kami.
***
Ditaman ini, aku duduk. Membawa setangkai mawar merah, masih segar. Malam ini gerimis kecil mengiringi. Taman cukup lengang, hanya satu-dua pasangan yang tengah di mabuk cinta. Duduk dibangku dibawah pohon, tak peduli gerimis kecil, sibuk dengan angan-angan cinta mereka, tertawa bersenda gurau. Merajut mimpi. Sedang aku? Betapa beruntungnya mereka. Entah, semua ku paksakan. Tertunduk memikirkan jalan terbaik ini. Terbaik? Mungkinkah? Atau hanya benalu yang akan mengikatku? Cukup lama. Sudah tak heran aku menanti lama seperti ini. Rani selalu saja telat tapi semua itu tak dapat membuat hatiku telat padanya. Tapi keputusan kali ini? Apakah telat? Mataku gelap, tak dapat melihat. Ku rasa tangan lembut itu menyentuh wajahku, tangan  yang selama ini ku kenal, tangan yang senantiasa memberikan kelembutan.
“Sayang, telat lagi…” ledekku
Rani hanya tersenyum tanpa rasa bersalah. Berbalik menghadap ku. Berdiri tepat dihdapanku. Tersenyum, senyum manjanya khas, tak berubah. Rambutnya kali ini diurai, hitam panjang. Terdapat titik-titik air hujan di rambutnya. Memakai dres panjang berwarna biru muda, sepatu hak tinggi. Duduk tepat disebelahku. Tetap saja, perasaan gugup menyelimuti seperti saat kami bertemu pertama kali. Setiap bertemu seolah dia selalu membawa suasana baru untukku. Mengawali pertemuan malam ini dengan berbincang-bincang ringan. Obrolan tentang apa saja yang terjadi hari ini. Penuh ekspresi dia menceriitakan semua kejadian yang dialaminya. Tertawa, seolah setiap bertemu tak ada kesedihan terpancar. Candanya, manjanya, cara dia merajuk, khas. Aku takkan lupa itu.
“Ran, maff…”
“Kenapa? Kamu ga salah apa-apa kok” tanya nya heran
Aku menunduk. Entah harus memulai cerita ini dari mana. Aku bingung. Rona penasaran terpancar dari wajahnya. Dia bingung lantas menatap lekat-lekat wajahku. Tatapan ini yang membuatku berkata dengan terbata-bata, aku tak sanggup. Ku sadari, raut wajahnya perlahan bberubah. Kata demi kata yang ku ucapkan semakin membuatnya terpukul. Aku sadar itu. Aku bodoh telah membuat keadaan begitu runyam.
“Ran, kamu tega…” ujarnya lirih
Air mata itu tak mampu dibendung di pelupuk matanya, perlahan menetes membasahi pipinya. Wajah ceria itu, luntur. Aku sadar, aku salah. Berjuta alasan tetap saja membuatnya terluka akan keputusan itu. Aku merasa menjadi pecundang malam ini, kalah akan sebuah keputusan yang harus ku ambil, aku sadar itu.  Perlahan ku raih tubuhnya, ku dekap. Ku elus rambutnya yang terurai itu, wangi rambut yang khas yang takkan ku lupa. Ku biarkan bersandar. Aku terluka, dia juga. Waktu  begitu cepat bergulir, semua mimpi yang kami bangun kini runtuh depan mata. Mimpi menjadi ayah buat anak-anaknya, makan masakannya, menjadi istri yang menanti dengan setia suaminya pulang kerja dan mimpi menghabiskan semua waktu hingga tua nanti. Namun semua buyar. Aku sadar itu semua. Aku pun hanyut dalam dinginnya malam ini, dengannya.
***
Tinggal menghitung menit. Suasana cukup meriah. Semua bersuka ria. Memakai baju berwarna putih, tanpa mengusung adat manapun. Menanti bidadari yang sedang bersolek. Jantungku berdetak hebat. Aku sadar, dalam hitungan menit saja aku mantap mengambil keputusan ini. Tinggal dihadapanku dan semua terjadi. Ku dengar riuh suara dari belakang. Aku tahu, dia sudah siap. Berdetak kencang jantungku, tak berani menoleh ke belakang. Ku mantapkan pilihanku, ini yang terbaik. Wangi bunga semakin mendekat dan sempurna, dia tepat disebelahku. Ku pandangi dia, cantik. Berbalut baju berwarna putih dengan banyak payet. Make up yang semakin memancarkan kecantikannya. Tak ada rambut indah terurai, semua tertutup jilbab putih. Sempurna kecantikannya. Tampak segar hari ini, syukurlah dia baik-baik saja hari ini. Kami di pasangkan kain dikepala kami. Menjabat tangan ayahnya, janji itu terucap dengan lancar. Cincin permata kini tepat dijari manisnya. Semua doa terpanjat untuk kebahagiaan kami.
Namun…
“Mit, bangun sayang” teriaku panik. Semua hadirin pun ikut panik. Suasana pun menegang. Mita tiba-tiba pingsan. Wajahnya pucat, tak secerah tadi. Badanya dingin. Ku angkat tubuhnya, mencari pertolongan
Saat itu juga, kami terbang ke Singapura. Inilah jalanku, keputusanku. Berada di sisinya sampai kapanpun.
                                                                                                Jakarta,
                                                                                                                                                                Mbee---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar