BAB II PEMBAHASAN
2.1 Perbedaan Kesopanan dan Kesantunan
Dalam
Bahasa Indonesia, sopan dan santun seringkali disandingkan dalam penggunaannya.
Dan dalam penerapannya sopan dan santun ini acapkali disamakan artinya sebagai
perilaku yang sesuai dengan adat dimasyarakat. namun sebenarnya sopan dan
santun yang dalam konteks ini disebut sebagai kesopanan dan kesantunan itu
berbeda. Kesantunan merupakan bagian dari kesopanan, jadi sesuatu yang sopan
sudah tentu santun tapi sesuatu yang santun belum tentu sopan. Maka dapat juga
diartikan bahwa penuturan yang santun mematuhi maksim kesopanan. Disebut maksim
kesopanan karena kesantunan berbahasa sudah termasuk didalamnya. Maka pada
pembahasan selanjutnya maksim kesopanan akan diperkecil menjadi teori
kesantunan, yang kemudian kesopanan akan dibahas pada akhir pembahasan.
2.2 Teori-teori Kesantunan
2.2.1 Robin Lakoff (1973)
Lakoff
dalam Abdul Chaer (2010) mengatakan tiga kaidah kesantunan, yaitu
1.
Formalitas
(jangan memaksa atau angkuh)
2.
Ketidaktegasaan
(buatlah agar lawan tutur dapat menentukan pilihan)
3.
Persamaan atau
kesekawanan (bertindak seolah-olah anada dan lawan tutur anda menjadi sama)
2.2.2 Brown dan Levinson (1978)
Dalam
Abdul Chaer (2010), Brown dan Levinson mengatakan teori kesantunan berbahasa
itu berkisar atas nosi muka (face). Muka tersebut dibagi dua, yaitu muka
negatif dan muka positif.
Muka
negatif itu mengacu pada citra diri setiap orang yang rasional yang ingin
dihargai dan membiarkannya bebas dari keharusan melakukan sesuatu. Muka positif
ialah mengacu pada setiap diri seseorang yang rasional, yang berkeinginan agar
apa yang dilakukan atau dimilikinya diakui orang lain sebagai sesuatu yang
baik.
2.2.3 Geoffrey Leech (1983)
Maksim
merupakan kaidah kebahasaan di dalam interaksi lingual; kaidah-kaidah yang
mengatur tindakannya, penggunaan bahasanya, dan interpretasi-interpretasinya
terhadap tindakan dan ucapan lawan tuturnya. Selain itu maksim juga disebut
sebagai bentuk pragmatik berdasarkan prinsip kerja sama dan prinsip kesopanan.
Maksim-maksim tersebut menganjurkan agar kita mengungkapkan keyakinan-keyakinan dengan sopan dan menghindari ujaran yang tidak sopan. Maksim-maksim ini dimasukkan ke dalam kategori prinsip kesopanan. Leech menjelaskan teori kesantunan dalam enam maksim, yaitu
Maksim-maksim tersebut menganjurkan agar kita mengungkapkan keyakinan-keyakinan dengan sopan dan menghindari ujaran yang tidak sopan. Maksim-maksim ini dimasukkan ke dalam kategori prinsip kesopanan. Leech menjelaskan teori kesantunan dalam enam maksim, yaitu
a.
Maksim Kebijaksanaan
Buatlah kerugian orang lain sekecil
mungkin, dan buatlah keuntungan orang lain sebesar mungkin (Leech diterjemahkan
oleh Oka, 1993: 27).
Gagasan dasar maksim kebijaksanaan dalam prinsip kesantunan adalah bahwa para peserta pertuturan hendaknya berpegang pada prinsip untuk selalu mengurangi keuntungan bagi dirinya sendiri dan memaksimalkan keuntungan pihak lain dalam kegiatan bertutur. Orang bertutur yang berpegang dan melaksanakan maksim kebijaksanaan akan dapat dikatakan sebagai orang santun. Apabila di dalam bertutur orang berpegang teguh pada maksim kebijaksanaan, ia akan dapat menghindarkan sikap dengaki, iri hati, dan sikap-sikap lain yang kurang santun terhadap mitra tutur. Rasa sakit hati dalam sebuah pertuturan juga dapat diminimalisir dengan maksim ini.
Gagasan dasar maksim kebijaksanaan dalam prinsip kesantunan adalah bahwa para peserta pertuturan hendaknya berpegang pada prinsip untuk selalu mengurangi keuntungan bagi dirinya sendiri dan memaksimalkan keuntungan pihak lain dalam kegiatan bertutur. Orang bertutur yang berpegang dan melaksanakan maksim kebijaksanaan akan dapat dikatakan sebagai orang santun. Apabila di dalam bertutur orang berpegang teguh pada maksim kebijaksanaan, ia akan dapat menghindarkan sikap dengaki, iri hati, dan sikap-sikap lain yang kurang santun terhadap mitra tutur. Rasa sakit hati dalam sebuah pertuturan juga dapat diminimalisir dengan maksim ini.
b.
Maksim Penerimaan
Kurangi keuntungan diri sendiri dan
tambahi pengorbanan diri sendiri (Leech diterjemahkan oleh Oka, 1993: 27).
Jika setiap orang melaksanakan inti
pokok maksim kedermawanan dalam ucapan dan perbuatan dalam pergaulan
sehari-hari, maka kedengakian, iri hati, sakit hati antara sesama dapat
terhindar. Dengan maksim kedermawanan atau maksim kemurahan hati, para peserta
pertuturan diharapkan dapat menghormati orang lain. Penghormatan terhadap orang
lain akan terjadi apabila orang dapat mengurangi keuntungan bagi dirinya
sendiri dan memaksimalkan keuntungan bagi pihak lain.
c.
Maksim Kemurahan
Maksim ini
menuntut setiap penutur untuk memaksimalkan rasa hormat kepada orang lain dan
meminimalkan rasa merendahkan orang lain.
d.
Maksim Kesederhanaan atau Kerendahan Hati
Kurangi pujian pada diri sendiri,
tambahi cacian pada diri sendiri (Leech diterjemahkan oleh Oka, 1993: 27).
Dalam maksim kesederhanaan atau maksim kerendahan hati, peserta tutur diharapkan dapat bersikap rendah hati dengan cara mengurangi pujian terhadap dirinya sendiri. Orang akan dikatakan sombong dan congkak hati apabila di dalam kegiatan bertutur selalu memuji dan mengunggulkan dirinya sendiri. Dalam masyarakat bahasa dan budaya Indonesia, keserderhanaan dan kerendahan hati banyak digunakan sebagai paremeter penilaian kesantunan seseorang.
Dalam maksim kesederhanaan atau maksim kerendahan hati, peserta tutur diharapkan dapat bersikap rendah hati dengan cara mengurangi pujian terhadap dirinya sendiri. Orang akan dikatakan sombong dan congkak hati apabila di dalam kegiatan bertutur selalu memuji dan mengunggulkan dirinya sendiri. Dalam masyarakat bahasa dan budaya Indonesia, keserderhanaan dan kerendahan hati banyak digunakan sebagai paremeter penilaian kesantunan seseorang.
e.
Maksim Kecocokan
Kurangi ketidaksesuaian antara diri
sendiri dengan orang lain. Tingkatkan persesuaian antara diri sendiri dengan
orang lain (Leech diterjemahkan oleh Oka, 1993: 27)..
Maksim permufakatan seringkali
disebut dengan maksim kecocokan (Wijana, 1996: 59). Di dalam maksim ini,
ditekankan agar para pererta tutur dapat saling membina kecocokan atau
kemufakatan di dalam kegiatan bertutur. Apabila terdapat kemufakatan atau
kecocokan antara diri penutur dan mitra tutur dalam kegiatan bertutur, masing-masing
dari mereka akan dapat dikatakan bersikap santun.
f.
Maksim Simpatisan
Kurangi antipasti antara diri
sendiri dengan orang lain.
Perbesar simpati antara diri sendiri dengan orang lain (Leech diterjemahkan oleh Oka, 1993: 27).
Perbesar simpati antara diri sendiri dengan orang lain (Leech diterjemahkan oleh Oka, 1993: 27).
Di dalam maksim kesimpatisan,
diharapkan agar para peserta tutur dapat memaksimalkan sikap simpati antara
pihak yang satu dengan pihak lainnya. Sikap antipasti terhadap salah seorang
peserta tutur akan dianggap sebagai tindakan tidak santun. Masyarakat tutur
Indonesia, sangat menjunjung tinggi rasa kesimpatisan terhadap orang lain ini
di dalam komunikasi kesehariaanya. Orang yang bersikap antipasi terhadap orang
lain, apalagi sampai bersikap sinis terhadap pihak lain, akan dianggap sebagai
orang yang tidak tahu sopan santun di dalam masyarakat.
2.2.4 Tarigan (1986)
Tarigan dalam F. X. Nadar
(2009) menjelaskan sama dengan Geoffrey Leech, hanya saja pada maksim kemurahan
diganti menjadi maksim penghargaan. Di dalam maksim penghargaan dijelaskan bahwa orang akan
dapat dianggap santun apabila dalam bertutur selalu berusaha memberikan
penghargaan kepada pihak lain. Dengan maksim ini, diharapkan agar para perserta
pertuturan tidak saling mengejek, saling mencaci, atau saling merendahkan pihak
lain. Perserta tutur yang sering mengejek peserta tutur lain di dalam kegiatan
bertutur akan dikatakan sebagai orang yang tidak sopan. Dikatakan demikian
karena tindakan mengejek merupakan tidakan tidak menghargai orang lain. Karena
merupakan perbuatan tidak baik, perbuatan itu harus dihindari dalam pergaulan
sesungguhnya.
Yang pada pengertiannya kemurahan dan penghargaan
dikatakan saling menyerupai.
2.3 Skala Kesantunan
2.3.1
Skala Kesantunan menurut Leech (1983:123-126) adalah sebagai
berikut:
a. Skala
kerugian dan keuntungan (cost-benefit
scale) menunjuk kepada besar kecilnya kerugian dan keuntungan yang
diakibatkan oleh sebuah tindak tutur pada sebuah pertuturan. Semakin tuturan
tersebut merugikan diri penutur, akan semakin dianggap santunlah tuturan itu.
Demikian sebaliknya, semakin tuturan itu menguntungkan diri penutur akan
semakin dianggap tidak santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin
tuturan itu merugikan diri, si mitra tutur akan dianggap semakin santunlah
tuturan itu.
b. Skala
pilihan (Optionality Scale) menunjuk kepada banyak atau
sedikitnya pilihan yang disampaikan si penutur kepada si mitra tutur. Semakin
pentuturanitu memungkinkan penutur atau mitra tutur mementukan pilihan yang
banyak dan leluasa, akan dianggap semakin santunlah tuturan itu. Sebaliknya apabila
pertuturan itu sama sekali tidak memberikan kemungkinan memilih bagi si penutur
dan si mitra tutur, tuturan tersebut akan dianggap tidak santun.
c. Skala
ketidak langsungan (Indirectness Scale) menunjuk kepada
peringkat langsung atau tudak langsugnya maksud sebuah tuturan. Semakin tuturan
itu bersifat langsung akan dianggap semakin tidak santunlah tuturan itu.
Demikian sebaliknya, semakin tidak langsung, maksud sebuah tuturan, akan
dianggap semakin sanutunlah tuturan itu.
d. Skala
keotoritasan (Authority Scale) menunjuk kepada hubungan status
sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam pertuturan. Semakin
jauh jarak peringkat sosial antara penutur dengan mitra tutur, tuturan yang
digunakan akan cenderung menjadi semakin santun. Sebakinya, semakin dekat jarak
peringkat status sosial diantara keduanya, akan cenderung berkuranglah
peringkat kesantunan tuturan yang digunakan dalam bertutur itu.
e. Skala
jarak sosial (Social Distance Scale) menunjuk kepada peringkat
hubungan sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam bsebuah
pertuturan. Ada kecenderungan bahwa semakin dekat jarak peringkat sosial dia
antara keduanya, akan menjadi semakin kurang santunlah tuturan itu. Demikian
sebaliknya, semakin jauh jarak peringkat sosial antara penutur dengan mitra
tutur, akan semakin santunlah tuturan yang digunakan itu.
2.3.2
Skala Kesantunan menurut Brown dan Levinson
(1987) sebagai berikut:
a. Skala
peringkat jarak sosial antara penutur dan mitra tutur (social distance
between speaker and hearer) banyak ditentukan oleh parameter perbedaan
umur, jenis kelamin, dan latar belakang sosiokltural. Berkenaan dengan
perbedaan umur antara penutur dan mitra tutur, lazimnya didapatkan bahwa
semakin tua umur seseorang, peringkat kesantunan dalam bertutur akan semakin
tinggi. Sebaliknya, orang yang masih berusia muda cenderung memiliki peringkat
yang rendah di dalam kegiatan bertutur. Orang yang berjenis kelamin wanita,
cenderung memiliki kesantunan lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang
berjenis kelamin pria. Hal demikian disebabkan oleh kenyataan bahwa kaum wanita
cenderung berkenaan dengan sesuatu yang bernili estetika dalam keseharian
hidupnya. Sebaliknya, pria cenderung jauh dari hal-hal itu karena, biasanya ia
banyak berkenaan dengan kerja dan pemakaian logika dalam kegiatan keseharian
hidupnya. Latar belakang sosiokltural seseorang memiliki peran sangat besar
dalam menentukan peringkat kesantunan bertutur yang dimilikinya. Orang yang
memiliki jabatan tertentu didalam masyarakat, cenderung memiliki peringkat
kesantunan lebih tinggi dibandingkan dengan kebanyakan orang seperti petani,
pedagang, buruh bangunan, pembantu rumah tangga dsb. Demikian pula orang-orang
kota cenderung memiliki peringkat kesantunan lebih tinggi dibandingkan dengan
masyarakat desa.
b. Skala
peringkat status sosial antara penutur dan mitra tutur atau sering kali
disebut dengan peringkat kekuasaan (power writing) didasarkan pada
kedudukan asimetrik antara penutur dan mitra tutur. Contoh: di dalam ruang
periksa sebuah rumah sakit, seorang dokter memiliki peringkat kesantunan lebih
tinggi dibandingkan dengan seorang pasien. Demikian pula di dalam kelas seorang
dosen memiliki peringkat kekuasaan lebih tinggi dibandingkan dengan seorang
mahasiswa.
c. Skala
peringkat tindak tutur (rank rating), didasarkan atas kedudukan
relatif tindak tutur yang satu dengan tindak tutur yang lainnya. Contoh: dalam
situasi yang sangat khusus, bertemu di rumah seorang wanita dengan melewati
batas waktu bertemu yang wajar akan dikatakan sebagai tidak tahu sopan santun
dan bahkan melanggar norma kesopanan yang berlaku pada masysrakat tutur itu.
Namun demikian, hal yang sama akan dianggap sanagt wajar dalam situasi yang
berbeda. Misalnya, pada saat terjadi kerusuhan atau kebakaran orang berada di
rumah orang lain atau rumah tetangganya bahkan sampai pada waktu yang tidak
ditentukan.
2.3.3
Skala Kesantunan menurut Robin Lakoff (1973) adalah
sebagai berikut:
a.
Skala formalis (formality scale) yaitu skala yang dinyatakan agar
para peserta tutur dapat merasa nyaman dalam kegiatan bertutur. Tuturan yang
digunakan tudak boleh bernada memaksa dan tidak boleh berkesan angkuh. Didalam
kegiatan bertutur, masing-masing peserta tutur harus dapat menjaga
keformalitasan dan menjaga jarak yang sewajarnya antara yang satu dengan yang
lainnya.
b. Skala
ketidaktegasan (hesitancy scale) yaitu skala yang menunjukkan bahwa
penutur dan mitra tutur dapat saling merasa nyaman dalam bertutur.
Pilihan-pilihan dalam bertutur harus diberikan oleh kedua beah pihak. Orang
tidak diperbolehkan bersikap terlalu tegang dan terlalu kaku didklam kegiatan
bertutur karena akan dianggap tidak santun.
c.
Peringkat kesekawanan atau atau kesamaan (equality scale) menunjukkan
agar bersifat santun. Orang harus bersikap ramah dan selalu mempertahankan
persahabatan antara pihak yang satu dengan pihak yang alin. Agar tercapai
maksud demikian, penutur haruslah menganggap mitra tutur sebagai sahabat.
Dengan menganggap pihak yang satu sebagai sahabat bagi pihak lainnya, rasa
kesekawanan dan kesejajaran sebagai salah satu prasyarat kesantunan akan dapat
tercapai.
2.4 Penyebab Ketidaksantunan
Ketidaksantunan
terjadi ketika penuturnya tidak mampu mengendalikan apa yang dituturkannya
sehingga bahasa yang ia gunakan menjadi tidak santun. Pranowo (2009) dalam
Abdul Chaer (2010) menjelaskan ada lima penyebab ketidaksantunan, yaitu :
a.
Kritik secara langsung dengan kata-kata kasar
kritik
langsung dengan kata-kata kasar menyebabkan sebuah penuturan jauh dari skala
peringkat kesantunan. Seperti pada kata “payah”
sebaiknya diganti dengan “belum bekerja maksimal.
b.
Dorongan rasa emosi penutur
Pada sebuah penuturan hendaknya
penutur menjauhkan dari rasa emosi sehingga berkesan bahwa penutur marah kepada
lawan tuturnya.
c.
Protektif terhadap pendapat
Protektif
terhadap pendapat sendiri dilakukan agar tuturan lawan tutur tidak dipercaya
oleh pihak lain.
d.
Sengaja menuduh lawan tutur
Tuduhan
yang dilayangkan kepada lawan tutur hanya berdasarkan kecurigaanya belaka tanpa
disertai bukti yang nyata, maka akan membut tuturan menadi tidak santun.
e.
Sengaja memojokan mitra tutur
Penutur
biasanya melakukan ini agar lawan tutur menjadi tidak berdaya atas apa yang
dikatakan penutur.
Maka penyebab dari kelima hal diatas adalah penutur
memang tidak tahu kaidah kesantunan berbahasa, penutur sulit meninggalkan
kebiasaan lama akibat hasil budaya dan sifat bawaan atau karakter penutur yang
memang tidak santun.
2.5 Kesopanan
Pada
awal pembahasan telah dikemukakan mengapa pada pembahasan sebelumnya digunakan
teori kesantunan bukan kesopanan. Pada dasarnya prinsip dalam pragmatik ini
tetap dinamakan maksim kesopanan, karena jika digunakan maksim kesantunan,
maksim kesantunan tidak bisa menjawab semua kaidah-kaidah dalam bertutur. Maka
maksim kesopanan dirasa cukup melingkupi kata kesantunan dan kesopanan itu
sendiri. Sederhananya adalah tuturan yang benar adalah yang memaatuhi maksim
kerjasama, tuturan yang santun adalah tuturan yang memenuhi maksim kesopanan yang
telah dijelaskan sebelumnya.
Abdul
Chaer (2010) menjelaskan tuturan yang benar berkaitan dengan masalah isi
penuturan, tuturan yang santun berkaitan dengan bahasa yang digunakan dan
tuturan yang sopan berkaitan dengan :
a.
Topik tuturan,
topik tuturan bersumber darimana saja sesuai masalah dimasyarakat. Hanya saja
ada topic yang dianggap tidak sopan dalam penuturan. Misalnya mengenai usia,
yang tidak boleh ditanyakan pada seorang wanita (yang bukan anak-anak dan belum
nenek-nenek), meskipun dengan bahasa yang santun
b.
Konteks situasi
ini berkenaan dengan masalah tempat, waktu dan suasana psikologis. Contohnya
seperti berbicara dengan suara keras di Rumah Sakit.
c.
Jarak hubungan
sosial antara penutur dan lawan tutur. Hal ini berkaitan dengan seberapa dekat
hubungan penutur dan lawan tuturnya. Misalnya seperti tidak sopan jika
menanyakan masalah pribadi lawan tutur pada saat awal perkenalan.
taeee
BalasHapussaya sangat menghargai apa yang telah anda tulis di blog ini, tapi maaf tolong perhatikan cara pengetikan dan konten isi blog anda. karena jika anda salah dalam segi konten, anda dapat menyesatkan para pembaca. trims
BalasHapusbuat anda yg sudah komentar TIDAK SOPAN. TOLONG JAGA UCAPAN ANDA. ANDA GA SUKA? YA UDAH. JAGA SIKAP ANDA
BalasHapusbermanfaat sekali. untuk tugas say, terimakasih n.n
BalasHapus