Jumat, 13 Januari 2012

puisi jante arkidam


JANTE ARKIDAM
Karya Ajib Rosidi

Sepasang mata biji saga                                    (1)
Tajam tangannya lelancip gobang
Berebahan tubuh-tubuh lalang dia tebang
Arkidam, Jante Arkidam

Dinding tembok hanyalah tabir embun`        (2)
Lunak besi di lengkungannya
Tubuhnya lolos di tiap liang sinar
Arkidam, Jante Arkidam

Di penjudian, di peralatan                                                 (3)
Hanyalah satu jagoan
Arkidam, Jante Arkidam

Malam berudara tuba                                        (4)
Jante merajai kegelapan
Disibaknya ruji besi pegadaian

Malam berudara lembut                                    (5)
Jante merajai kalangan ronggeng
Ia menari, ia ketawa

‘mantri polisi lihat ke mari!                               (6)
Bakar mejajudi dengan uangku sepenuh saku
Wedanan jangan ketawa sendiri!
Tangkaplah satu ronggeng berpantat padat
Bersama Jante Arkidam menari
Telah kusibak rujibesi!’

Berpandangan wedana dan mantripolisi       (7)
Jante, Jante; Arkidam!
Telah dibongkarnya pegadaian malam tadi
Dan kini ia menari!’

‘Aku, akulah Jante Arkidam                             (8)
Siapa berani melangkah kutigas tubuhnya
Batang pisang,
Tajam tanganku lelancip gobang
Telah kulipat rujibesi’

Diam ketakutan seluruh kalangan                  (9)
Memandang kepada Jante bermata kembang
Sepatu

‘mengapa kalian memandang begitu?           (10)
Menarilah, malam senyampang lalu!’

Hidup kembali kalangan, hidup kembali       (11)
Penjudian
Jante masih menari berselempang selendang
Diteguknya sloki kesembilanlikur   
Waktu mentari bangun, Jante tertidur

Kala terbangun dari mabuknya                       (12)
Mantripolisi berada di sisi kiri
‘Jante, Jante Arkidam, Nusa Kambangan!’

Digisiknya mata yang sidik                               (13)
‘Mantripolisi, tindakanmu betina punya!
Membokong orang yang nyenyak’

Arkidam diam dirante kedua belah tangan   (14)
Dendamnya merah lidah ular tanah

Sebelum habis hari pertama                             (15)
Jante pilin ruji penjara
Dia minggat meniti cahya

Sebelum tiba malam pertama                          (16)
Terbenam tubuh mantripolisi di dasar kali

‘Siapa lelaki menuntut bela?                            (17)
Datanglah kala aku jaga!’

Teriaknya gaung di lunas malam                    (18)
Dan Jante berdiri di atas jembatan
Tak ada orang yang datang
Jante hincit menikam kelam

Janda yang lakinya terbunuh di dasar kali    (19)
Jante datang ke pangkuannya

Mulut mana yang tak direguknya                   (20)        
Dada mana yang tidak diperasnya?
Bidang riap berbulu hitam
Ruastulangnya panjang-panjang
Telah terbenam beratus perempuan
Di wajahnya yang tegap

Betina mana yang tak ditaklukkannya?       (21)
Mulutnya manis jeruk Garut
Lidahnya serbuk kelapa puan
Kumisnya tajam sapu injuk
Arkidam, Jante Arkidam

Teng tiga di tangsi polisi                                     (22)
Jante terbangun ketiga kali
Diremasnya rambut hitam janda bawahnya

Teng kelima di tangsi polisi                               (23)
Jante terbangun dari lelapnya
Perempuan berkhianat, tak ada di sisinya
Berdegap langkah mengepung rumah
Didengarnya lelaki menantang:
‘Jante, bangun! Kami datang jika kau jaga!’

‘Datang siapa yang jantan                                                (24)
Kutunggu di atas ranjang’

‘Mana Jante yang berani                                   (25)
Hingga tak keluar menemui kami?’

‘Tubuh kalian batang pisang                            (26)
Tajam tanganku lelancip pedang’

Menembus genteng kaca Jante berdiri di atas atap (27)
Memandang hina pada orang yang banyak
Dipejamkan matanya dan ia sudah berdiri di atas tanah
‘hei, lelaki matabadak lihatlah yang tegas
Jante Arkidam ada di mana?’

Berpaling seluruh mata kebelakang                                (28)
Jante Arkidam lolos dari kepungan 
Dan masuk ke kebun tebu

‘Kejar jahanam yang lari!’                                                (29)

Jante dikepung lelaki satu kampong                               (30)
Dilingkung kebun tebu mulai berbunga
Jante sembunyi di lorong dalamnya

‘Keluar Jante yang sakti!’                                  (31)

Digelengkannya kepala yang angkuh             (32)
Sekejap Jante telah bersanggul

‘Alangkah cantik perempuan yang lewat      (33)
Adakah ketemu Jante di dalam kebun?’

‘Jante tak kusua barang seorang                     (34)
Masih samar, di lorong dalam’

‘Alangkah Eneng bergegas                                (35)
Adakah yang diburu?’

‘Jangan hadang jalanku                                    (36)
Pasar kan segera usai!’

Sesudah jauh Jante dari mereka                      (37)
Kembali dijelmakannya dirinya

‘Hei lelaki sekampung bermata dadu             (38)
Apa kerja kalian mengantuk di situ?’

Berpaling lelaki ke arah Jante                           (39)
Ia telah lolos dari kepungan

Kembali Jante diburu                                         (40)
Lari dalam gelap
Meniti muka air kali
Tiba di persembunyiannya.



Puisi ini mengisahkan sosok Jante Arkidam yang merupakan buronan kelas kakap. Ia sangat kuat sehingga ditakuti oleh banyak orang dan licin untuk ditangkap. Dalam suatu malam ia beraksi membobol pegadaian. Setelah itu ia berpesta, menari dengan para ronggeng, menghabiskan uang dengan berjudi dan mabuk-mabukkan. Melihat kejadian itu, mantripolisi dan wedana hanya keheranan, saling berpandangan dan berkata, “Telah dibongkarnya pegadaian malam tadi. Dan kini ia menari!” . mendengar hal tersebut, Jante malah menantang dengan beringasnya
“Aku, akulah Jante Arkidam.
Siapa berani melangkah kutigas tubuhnya batang pisang.
 Tajam tanganku lelancip gobang.
Telah kulipat rujibesi.”
 Semua yang mendengar itu hanya ketakutan dan tidak bisa berbuat banyak. Sehingga pesta pun tetap berlanjut. Karena terlalu banyak menengggak minuman, ia pun tak sadarkan diri. Dengan keadaan demikian, mantripolisi memanfaatkan kondisi ini untuk menangkap Jante. Dibawanya Jante ke Nusa Kambangan.
Pada waktu tersadar ia sudah berada di Nusa Kambangan, ia marah. Ia menyadari tangannya sudah dirantai. Ia menganggap mantripolisi itu pengecut karena menangkapnya dalam keadaan tak sadarkan diri. Lantas ia  merusak jeruji besi dan membunuh mantripolisi tersebut. Mantripolisi itu pun tenggelam didasar kali.  
Selain itu, Jante berhasil memikat hati janda mantripolisi itu. Sang janda mantripolisi bahkan rela menyerahkan kehormatan pada orang yang telah membunuh suaminya sendiri.  Walaupun demikian, janda mantripolisi itu tetap berkhianat, ia melaporkan Jante ke polisi. Jante baru tersadar setelang bunyi dentangan ke lima dari tangsi polisi tersebut.
Polisi diluar sudah mengepung walau tak ada satupun yang berani masuk ke dalam.  Jante yang terkenal licin ini walau sudah dikepung polisi dan lelaki satu kampung tetap saja ia berhasil meloloskan diri. Berlari menuju kebun tebu. Dengan sekejap ia berubah menjadi wanita bersanggul, cantik.
  Alangkah cantik perempuan yang lewat, Adakah ketemu Jante di dalam kebun?” ujar seorang laki-laki
“Jante?” dia buka suara, “Tak kusua barang seorang. Masih samar, di lorong dalam.” Jawab Jante dengan suara perempuan.
“Alangkah Eneng bergegas.
Adakah yang diburu?”
“Jangan hadang jalanku.
Pasar kan segera usai!” 
Sesudah jauh berjalan, Jante merubah dirinya lagi menjadi laki-laki lalu berteriak ke arah kerumunan yang tadi mengejarnya sambil mengejek, “Hei lelaki sekampung bermata dadu. Apa kerja kalian mengantuk di situ?”. Jante pun kabur lagi menuju persembunyiannya lagi. 


bermanfaatkah untukmu???
tinggalkan komentarmu ya... trimakasih :) 
mari berkawan.... 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar